Pada 6 dan 9 Agustus 1945, dua kota Jepang, Hiroshima dan Nagasaki, dihadiahi kado spesial berupa bom maha dahsyat made in Amerika yang kemudian menyudahi Perang Dunia II. Pasca berakhirnya perang terparah sepanjang sejarah modern itu, rakyat di beberapa wilayah pendudukan Jepang, termasuk Indonesia, pun mulai bangkit menjemput hari kebebasan yang telah lama dijanjikan. Lain dari kisah sebelumnya, kali ini para agresor Eropa harus gigit jari merelakan beberapa bekas wilayah jajahannya berhasil memerdekakan diri di bawah pasukan pribumi yang tak sedikit pula dari mereka kedapatan memikul persenjataan made in Nippon.
Ada banyak kisah dengan bermacam versi antara tentara Jepang dan Indonesia yang mewarnai perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan. Dan salah satu fenomena yang menarik adalah dipakainya persenjataan Jepang oleh pasukan Indonesia untuk menghadapi tentara sekutu dan Belanda. Lantas bagaimana pula para pejuang kemerdekaan Indonesia tersebut mampu mendapatkan persenjataan dari bekas tentara pendudukan yang selama 3,5 tahun berkuasa di Indonesia? Jawabnya ada banyak versi, dan di setiap daerah memiliki kisahnya sendiri-sendiri tentang kesuksesan pejuang kemerdekaan mendapatkan persenjataan dari pasukan Dai Nippon.
Setidaknya ada tiga macam model proses penyerahan persenjataan Jepang kepada pasukan Indonesia, yaitu: lewat pertempuran, lewat perundingan, dan penyerahan suka rela. Perampasan senjata tentara Jepang lewat jalan kekerasan misalnya terjadi di Semarang pada Oktober 1945. Peristiwa yang terkenal dengan sebutan “Pertempuran 5 Hari” ini juga disebut-sebut sebagai pertempuran terhebat di Indonesia yang menghadapkan pemuda Semarang melawan pasukan Jepang pada masa transisi. Sedangkan penyerahan senjata Jepang lewat perundingan misalnya terjadi di Banyumas, Jawa Tengah. Ketika itu salah seorang anggota PETA, Daidancho Soedirman (kelak dikenal sebagai Jenderal Soedirman), sukses mendapatkan persenjataan pasukan Jepang di wilayah Banyumas setelah berhasil meyakinkan pasukan Jepang bahwa keselamatan mereka akan dilindungi. Dan penyerahan persenjataan Jepang secara sukarela kepada rakyat, di antaranya terjadi di Aceh. Seperti diceritakan oleh Ali Hasjmy, seorang pejuang dan sejarawan termasyur asal Aceh, bahwa pasukan Jepang secara sukarela menyerahkan senjata mereka kepada rakyat. “Kami merebut senjata-senjata Jepang sebelum sekutu datang. Anehnya, tentara Jepang seperti membiarkan kami melucutinya. Dengan mudah, kami merampas senjata mereka. Dan kelihatannya mereka justru seperti menyerahkannya”, jelas Ali Hasjmy pada salah satu artikel majalah Tempo terbitan tahun 1991 yang berjudul “Prof Ali Hasjmy: Pengagum Soekarno, Murid Daud Beureueh”.
Terlepas dari apapun dan bagaimana cara mendapatkannya, satu yang jelas bahwa senjata-senjata Jepang yang sebagian besar berupa senapan Arisaka berbagai tipe, senapan mesin Nambu tipe 97, serta berbagai model peledak dan mesiu made in Nippon telah turut berjasa menghadang para agresor Eropa pasca berakhirnya Perang Dunia II.(st)
(oryza aditama / http://www.saudaratua.wordpress.com)
3 komentar
Comments feed for this article
Agustus 18, 2011 pada 3:42 am
eko
bagus…akan makin lengkap jika ditambah data peralatan militer lain Jepang yg dibawa ke Indonesia saat itu….
September 6, 2011 pada 10:45 am
rivan
setahu saya sih ada juga sih sejenis mortar jepang yang disebut tekidanto…
Oktober 28, 2011 pada 8:49 am
sugiarto tandya
Saya punya koleksi PEDANG kuno tahun 1817, yang dibawa oleh komandan tentara pasukan Jepang , ada sertifikat tulisan Jepang dari kain warna coklat . Apakah museum / pemerintah di Jepang ada yang berminat meng koleksi?Mohon balasan di email kami.Terima kasih atas perhatiannya.
sugiarto_tandya@yahoo.com