Era awal 90-an, Jepang mendapat rentetan cibiran dari berbagai negara mitra dagangnya sebagai akibat surplus neraca perdagangan Jepang yang terlampau tinggi. Banyak mitra dagang si Saudara Tua yang menuduh bahwa Jepang telah memberlakukan kebijakan yang tidak cukup fair terhadap berbagai produk impor yang hendak berekspansi ke Negeri Sakura. Menanggapi hal ini, dan untuk menghindari resiko negatif booming ekonomi yang terlampau besar, maka pemerintah Jepang menerapkan berberapa usaha strategis untuk menurunkan surplus perdagangan dengan mitra dagang mereka, termasuk Indonesia.

Usaha pertama Jepang yang kala itu terlihat cukup mencengangkan adalah dibukanya Business Support Centre (BSC) di Tokyo secara gratis mulai 25/03/94. Ya, ketika itu Jepang benar-benar menyediakan secara cuma-cuma kepada para perusahaan asing untuk memanfaatkan segala fasilitas yang tersedia selama 2 minggu hingga 3 bulan. Para perusahaan asing tersebut dimanjakan dengan fasilitas perkantoran bisnis, konsultasi bisnis, perpustakaan bisnis, hingga kesempatan akses database JETRO (Japan External Trade Organization) yang seluas-luasnya. Dan oleh JETRO, potensi ekspansi produk dari berbagai perusahaan asing itu akan disalurkan kepada RIPROC (Regional Import Promotion Centre) untuk tujuh kawasan perdagangan terbesar di Negeri Sakura, yaitu: Sapporo, Sendai, Nagoya, Osaka, Takamatsu, Fukuoka, dan Hiroshima.

Tak cukup dengan fasilitas gratis di BSC, sebulan kemudian atau pada 26 April – 1 Mei 1994, Jepang juga menggelar event bertajuk Osaka International Trade Fair untuk lebih mengoptimalkan dan mendongkrak nilai impor. Kala itu, Indonesia yang berdiri sebagai mitra dagang Jepang yang paling besar di kawasan Asia Tenggara pun tak tinggal diam. Sebagaimana kutipan data dari majalah Business News, ketika itu Indonesia tercatat mengirimkan 46 perusahaan yang berasal dari 7 propinsi di Nusantara. Komposisi asal daerah para perusahaan Indonesia tersebut adalah sebagai berikut: DKI Jakarta mengirim 25 perusahaan; DI Yogyakarta memberangkatkan 10 perusahaan; Jawa Barat ada 2 perusahaan; lantas Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Selatan, masing-masing dengan satu perusahaan. Jumlah tersebut masih ditambah lagi dengan keikutsertaan 5 cabang perusahaan Indonesia yang ada di Jepang.

Pada kesempatan promosi itu, rombongan perusahaan Indonesia sengaja untuk mencoba menawarkan aneka produk kreatif yang notabene bukan hasil tambang dan migas. Beberapa produk kreatif yang diandalkan Indonesia adalah: T-shirt, pakaian anak, polo shirt, jaket, boneka tekstil, kerajinan sulam, sandal kreatif, bingkai, mebel, produk olahan rotan, kerajinan bambu, kerajinan kulit, peralatan dapur, aneka produk kreatif batik, keramik dan tembikar, kerajinan perak, rokok atau cigaret, olahan kopi, produk olahan kayu, aksesoris rumah, dan lain-lain. “Manfaatkan seoptimal mungkin kebijakan buka pintu impor Jepang yang ingin mengurangi surplus perdagangannya”, pesan Kepala BPEN Departemen Perdagangan, Rudy Lengkong, kepada para kontingen dari Indonesia pada waktu itu.

Sebagai catatan, menurut data tahun 1992 seluruh impor Jepang dengan semua negara di dunia mencapai 233,021 milyar dollar. Khusus dengan negara-negara ASEAN, total impor Jepang mencapai 31,551 milyar dollar. Dan terhadap Indonesia sendiri, impor Jepang mencapai angka 12,244 milyar dollar, atau hampir separuh seluruh impor dari ASEAN.(st)

(oryza aditama / www.saudaratua.wordpress.com)