Logo pembuka film produksi Nippon Eigasha

Logo pembuka film produksi Nippon Eigasha

Indonesia adalah satu dari sedikit wilayah pendudukan Jepang di Perang Dunia II yang masyarakat pribuminya masih terbilang kooperatif dengan serdadu Dai Nippon. Di samping karena kelihaian Jepang dalam mengoptimalkan legenda lokal macam ramalan Jayabaya yang mereka olah hingga berkesan bahwa sang Saudara Tua datang untuk membebaskan rakyat pribumi dari penjajahan bangsa kulit putih. Kesuksesan Jepang dalam hal ini ternyata juga sebagai imbas dari keberadaan ratusan film propaganda Jepang yang cukup masif dikonsumsi masyarakat luas kala itu.

Menurut Aiko Kurasawa, seorang profesor Jepang yang ahli dalam bidang sejarah Indonesia, dalam masa pendudukannya di Indonesia, tentara Dai Nippon telah berhasil memproduksi setidaknya 350 judul film propaganda. Film tersebut kebanyakan hasil produksi tahun 1942 sampai awal 1945. Pada awalnya, sebuah tim dokumentasi dari Angkatan Darat tentara pendudukan Jepang adalah yang bertugas dan bertanggung jawab untuk memproduksi film-film tersebut. Namun tugas tersebut kemudian diambil alih oleh Jawa Eigasha (Perusahaan Film Jawa), sesaat setelah pembentukan resmi Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia pada Oktober 1942. Akan tetapi enam bulan kemudian atau pada April 1943, tugas produksi film propaganda ini diambil alih oleh Nippon Eigasha (Perusahaan Film Jepang) yang memiliki kantor pusat di Tokyo. Tidak diketahui pasti kenapa Jawa Eigasha harus digantikan dengan Nippon Eigasha, namun yang pasti Nippon Eigasha di waktu itu mampu menghasilkan jumlah film propaganda lebih dari dua kali lipat lebih banyak dari yang bisa dihasilkan oleh Jawa Eigasha. Di tangan Nippon Eigasha inilah aktivitas produksi film propaganda Jepang terus dilakukan hingga berakhirnya Perang Dunia II. Berbagai film propaganda itu kemudian diedarkan pada 117 gedung bioskop yang ada di Indonesia kala itu, dan selalu ditampilkan sebagai tayangan pembuka setiap pemutaran film.

Menurut keterangan Takashi Takaba, salah seorang mantan fotografer di Nippon Eigasha, kepada majalah Tempo edisi 1988, menurutnya ada pembengkakan jumlah pegawai di Nippon Eigasha yang terjadi secara periodik. Pada mulanya hanya ada enam juru kamera dan tiga sutradara, namun jumlah itu terus bertambah hingga mencapai 40 orang pegawai. Barangkali karena jumlah pegawai yang cukup banyak inilah kenapa produktivitas Nippon Eigasha jauh melampaui Jawa Eigasha. Menurut Takashi, dari sekian jumlah pegawai Nippon Eigasha ini, tak semuanya adalah orang Jepang, karena ada juga orang pribumi yang masuk di dalamnya, salah satunya adalah R.M Soetarto dari Solo. “Ia adalah satu-satunya fotografer yang orang Indonesia”, tambah Takashi. Sebagai tambahan, pasca kemerdekaan Indonesia, R.M Soetarto sempat menjadi Ketua Badan Sensor Film di Departemen Penerangan.

Pada 1945, ratusan film propaganda produksi Jepang tersebut kemudian disita oleh pihak Belanda setelah tentara Sekutu sukses mengalahkan Jepang pada akhir Perang Dunia II. Biarpun demikian, hingga kini setidaknya ada 15 judul film propaganda Jepang yang masih tersimpan di Arsip Nasional RI. Di antaranya berisi tentang pidato tokoh-tokoh nasional di kala itu yang mendukung usaha Jepang pada Perang Dunia II, serta ada pula film dokumentasi tentang kunjungan Jenderal Hideki Tojo ke Indonesia. “Melalui film-film itulah rakyat Indonesia diharapkan dapat memahami gagasan Persemakmuran Bersama Asia Timur Raya yang dicita-citakan oleh Kekaisaran Jepang”, jelas Takashi Takaba. (st)

(oryza aditama / http://www.saudaratua.wordpress.com)